HaRLi_CooL

Rumah Sakit dan 1001 Kisah Pembunuhan Berencana (Kisah Nyata)

andikafm.com

Kemegahan rumah sakit yang bewarna putih, bersih dan sejuk, ternyata hanya topeng di dunia kesehatan kita. Aceh dan Indonesia secara umum.

Mulai sekarang, kita sudah selayaknya untuk selalu waspada dan lebih berhati-hati dengan mereka, yaitu, rumah sakit, dokter, bidan dan praktek-praktek kesehatan lainnya.

Harus diakui, mereka memang telah berjasa bagi masyarakat, namun, melihat kasus-kasus yang terus terjadi dan tanpa penyelesaian, sudah selayaknya kita berpikir ulang dan berhati-hati.

Tulisan ini bukan untuk menakut-nakuti agar kita enggan ke rumah sakit. Tapi, berhati-hati itu bukankah lebih baik.

Saya melihat, saat ini, rumah sakit sebagai tempat “penyembuhan” justru sering menjadi tempat pembantaian, dan pembunuhan berencana. Tidak peduli dia orang kaya, orang miskin, orang berpendidikan atau pun tidak. Semua harus siap dengan keputusan dokter, rumah sakit dan sejenisnya.

Keputusan seorang dokter sering sekali menjadi ancaman serius bagi pasien. Bukan sebagai tempat penyembuhan dan memberi harapan hidup bagi pasien, tapi justru sebaliknya. Penuh ancaman!

Sikap kasar, sikap acuh tak acuh, yang sering dialami pasien hanya bagian terkecil dari kebobrokan dunia kesehatan.

Kali ini saya hanya akan membahas kondisi rumah sakit di Aceh (karena memang saya tinggal di Aceh).

Tahun 2008. Saya bertemu salah seorang teman di Unsyiah. Dia bercerita tentang pengalaman yang hampir saja merenggut nyawanya. Hal itu bermula dari vonis salah seorang dokter rumah sakit (Banda Aceh).

“Saat itu saya di vonis penyakit pembusukan tulang belakang,” kata teman saya.

Oleh sang dokter, dia harus dioperasi sesegera mungkin, karena, jika tidak akan membahayakan dirinya dan bisa mengalami kelumpuhan total. Teman saya yang mendapat penjelasan itu tentu khawatir dan takut. Akhirnya dia melapor kepada kedua orangtuanya di Simeulu.

Biaya operasi yang tinggi membuat kedua orangtuanya panik. Akhirnya, mereka memutuskan berobat ke negara tetangga kita, Malaysia. Setelah melakukan check, hasil rontgen diketahui, ternyata teman saya itu tidak mengalami gejala pembusukan tulang. Hanya MASUK ANGIN!

Seminggu di Malaysia, teman saya sudah sehat wal’afiat.

Kasus kedua, seorang dosen di Unsyiah, di vonis kanker otak. Siapa yang tidak merinding mendengar penyakit kanker otak. Dosen itu justru tambah stress dan sakit karena memikirkan penyakit tersebut.

Salah satu temannya menyarankan untuk berobat keluar negeri. Hasil pemeriksaan, dosen itu hanya sakit MIGRAIN! Sangat jauh sekali dengan apa yang dikatakan dokter di Aceh.

Kisah diatas adalah dua kisah dari belasan kisah yang saya dengar langsung dari korban. Dan tentu tidak mungkin saya tuliskan semua.

Apa yang terjadi seandainya kedua orang diatas mengikuti anjuran dokter di Aceh itu? Mereka harus mengeluarkan dana yang luar biasa besar untuk biaya operasi untuk sebuah penyakit yang tidak ada!

Mafia persalinan

Kebetulan, saya beserta teman pernah melakukan liputan terhadap masalah ini. Modus operandinya adalah, Seorang bidan bekerja sama dengan seorang dokter kandungan.

Sasarannya wanita hamil, terutama di pedesaan atau gampong. Saat pasien (wanita hamil) pergi konsultasi dengan sang bidan, dia merujuk ke salah satu dokter kandungan yang merupakan jaringannya. Alasannya bisa macam-macam. Dengan dalih si pasien mengalami kelainan atau gangguan sehingga perlu penanganan seorang dokter kandungan.

Tentu bisa dibayangkan, sasaran sang bidan tadi. Berdalih keselamatan ibu serta si jabang bayi, upaya apapun akan dilakukan. Bidan pun merujuk ke dokter yang telah ditentukan tanpa pilihan, demi meraup keuntungan. Singkat cerita si pasien tadi pergi ke dokter kandungan yang dirujuk si bidan, terutama mereka yang tinggal menghitung hari untuk melahirkan secara normal.

Sampai pada dokter tersebut, bukannya pengobatan normal yang di lakukan, melainkan tawaran operasi, yang ujung-ujungnya butuh biaya tinggi. Celakanya, ada indikasi bidan main mata dengan dokter. Meraup rupiah dengan cara mencari pasien untuk dirujuk ke dokter. Jika berhasil, setiap bidan mengantongi fee sekitar Rp 500 hingga Rp 700 ribu setiap satu pasien.

Dari keterangan beberapa bidan yang saya jumpai, mereka pernah melihat langsung bagaimana kematian merenggut ibu hamil yang sehat. “Ada seorang wanita hamil meninggal dunia setelah tiga hari di operasi oleh salah seorang dokter kandungan di Banda Aceh. Padahal, menurut para bidan ini, wanita tersebut masih mampu melahirkan secara normal, tidak mesti dioperasi. Tapi, oleh sang dokter tetap dioperasi.

Hal ini juga terjadi di Aceh Timur dan beberapa daerah lainnya. Di Aceh Timur bahkan lebih tragis, seorang wanita muda yang tengah hamil, dalam keadaan pendarahan tetap dioperasi secara “paksa” oleh seorang dokter. Sang wanita itupun menghembuskan nafasanya diatas meja operasi dihadapan sang suami!

Salah seorang dokter kandungan di Aceh yang sempat saya tanyai mengakui, dirinya, dalam sebulan sering melakukan operasi ibu hamil sebanyak 30 orang. 30 orang dikalikan 8-10 juta rupiah, pendapatan yang luar biasa!

Dokter kandungan itu, saat ditanya perihal mafia persalinan ini justru mengatakan, dirinya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dokter-dokter lainnya yang ada di Banda Aceh.

Inilah dunia kesehatan kita. Tidak mempedulikan keselamatan fasien demi Uang. Jika fasien meninggal karena operasi atau lainnya, dokter-dokter itu justru tetap mengaku mereka tidak bersalah dan mengeluarkan semua jurus ampuhnya untuk membela diri. Bahkan, semua dokter pun ikut turun membela korpnya. Luar biasa dunia kedokteran kita!

Berbagai alasan mereka keluarkan untuk membenarkan kelakuan bejat mereka.

Seorang ibu, membawa anaknya yang tertabrak motor kerumah sakit. Dokter-dokter disana hanya duduk-duduk main handphone. Sedangkan sanga anaknya terus menangis kesakitan. Bahkan beberapa Pasukan perawat dan dokter pun tidak mempedulikan anak itu.

Karena kesal sang ibu, marah, justru yang terjadi, para dokter itu membentak sang ibu. Ibu itupun melawan dan menampar dokter (dokter muda) yang ada saat itu. Apa yang dilakukan dokter itu terhadap ibu tersebut, ia juga akan memukul ibu tersebut (untung dilerai pasien yang lain).

Sang dokter berkata : “Anak ibu tidak apa-apa, kakinya hanya lecet ngapain sibuk-sibuk bawa kerumah sakit”.

Ibu itupun naik pitam dan membawa lari anaknya kerumah sakit lain. Limabelas menit rongsen, ternyata kaki anak ibu itu memang patah fraktura.

Terlalu banyak kisah untuk diungkapkan.

Rumah sakit kini bukanlah tempat yang aman. Kematian seolah lebih cepat terjadi dalam lingkungan rumah sakit. Kesewenangan, kecerobohan dan sikap “seenaknya” membuat masyarakat hidup dalam ancaman.

Salah seorang dokter di Rumah Sakit Zainal Abidin mengatakan, hal itu memang banyak terjadi. Alasannya, untuk mengambil gelar spesialis dibutuhkan dana miliaran rupiah! Satu hal lagi, dunia kesehatan juga dipenuhi korupsi yang sangat jarang terungkap!

Kita tidak tahu, apakah korban-korban yang meninggal di rumah sakit itu murni karena ajal atau memang sebuah pembantaian dan pembunuhan untuk memperoleh uang dalam waktu singkat!

* Namun begitu, rumah sakit dan dokter tetap kita butuhkan lho :)

Label: | edit post
0 Responses

Posting Komentar